Oleh: Ade Zaenudin
“It is not the strongest species that survive, nor the most intelligent, but the ones who are most responsive to change” (Charles Darwin)
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, dia menjadi proses alamiah yang tidak mungkin di-nafi-kan, menjadi penanda kebermakhlukan, sekaligus penanda kebesaran Sang Khalik.
Saat ini, setidaknya ada empat turbin penggerak perubahan, revolusi industri, globalisasi, perubahan iklim dan yang paling fenomenal adalah pandemi Covid-19. Efek perubahannya dahsyat merambah ke seluruh aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, termasuk dunia pendidikan.
Perubahan dahsyat itu kemudian kita istilahkan dengan kata disrupsi, perubahan yang sangat substantif dan fundamental.
Salah satu penanda disrupsi dalam perspektif pendidikan adalah hadirnya pembelajaran berbasis virtual digital, segenap pendidik dan tenaga kependidikan dipaksa masuk pada sebuah kebiasaan dan zaman baru di mana zaman tersebut awalnya diprediksi akan hadir beberapa puluh tahun yang akan datang. Semua berjibaku menghadapi tantangan baru, termasuk orang tua siswa di dalamnya yang merasakan suasana pendidikan yang tidak diduga sebelumnya.
Perguruan Tinggi sebagai penyedia sumber daya manusia tentu punya tantangan baru sebagai efek disrupsi ini, mereka harus semakin responsif terhadap segala perubahan yang begitu cepat.
Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung bahkan secara eksplisit menyampaikan profil lulusannya yaitu sebagai pendidik PAI pada sekolah/madrasah dan luar sekolah yang memiliki kemampuan profesional, berdaya saing serta mampu merespon perkembangan zaman. Profil tersebut tentu memperkuat apa yang disampaikan Charles Darwin bahwa manusia yang survive di masa depan tidak ditentukan karena kekuatan dan kepintarannya tapi karena kemampuan beradaptasi dengan perubahan.
Kita bisa belajar dari analogi Katak Rebus terkait bagaimana merespon perubahan. Jika katak tiba-tiba dimasukan ke panci berisi air panas, tentu dia akan meronta, loncat karena kepanasan. Tapi jika katak itu dimasukan ke air dingin dan setelah nyaman di sana kemudian pancinya dipanaskan, katak tersebut tidak akan langsung meronta, boleh jadi dia menikmati perubahan suhu tersebut, semakinpanas, bahkan bisa sampai mati kepanasan.
Analogi itu mestinya menyadarkan kita agar tidak sampai tersiksa dan mati ditindas perubahan. Jangan merasa nyaman dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki saat ini yang pada akhirnya justru musnah dilibas turbin perubahan.
Keempat turbin penggerak perubahan (pandemi, revolusi industri, globalisasi dan perubahan iklim) ternyata melahirkan empat perubahan mendasar dalam kehidupan, keempat hal itu dikenal dengan istilah VUCA (Volatelity, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).
Volatelity merupakan gejolak perubahan yang begitu besar. Kita merasakan gejolak yang sangat dahsyat saat pandemi mulai beraksi dari Wuhan, menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dalam aspek yang berbeda, gejolak perubahan akhlak pun kita rasakan sebagai dampak globalisasi.
Uncertainty merupakan sebuah kondisi yang tidak pasti, susah untuk diprediksi. Saat pandemi, kita tidak punya kepastian kapan pandemi akan berakhir, dengan cara apa bisa diakhiri, bahkan sampai kapan pembelajaran berbasis online disudahi. Saat ini kita pun masih dihadapkan pada misteri, apakah akan hadir varian lain, dan akan kah kembali menjadi pandemi.
Complexity dimaknai sebagai sesuatu yang begitu rumit, efeknya begitu kompleks, berimplikasi pada berbagai sendi kehidupan. Bukan hanya pandemi, revolusi industri misalnya, dia tidak hanya berimplikasi pada perubahan tata kelola industri tapi tentu berakibat pada gaya hidup dan pola pikir manusia. Studi Mc Kinsey tahun 2019 menyatakan bahwa pada tahun 2030 ada 23 juta pekerjaan yang digantikan mesin dan pada saat yang samaada 27 – 46 juta pekerjaan baru.
Ambiguity bermakna membingungkan atau adanya ketidakjelasan suatu kejadian dengan mata rantai akibatnya. Mari kita cermati, pandemi yang sudah coba diendemikan saja belum menemukan obat penawarnya, dan entah pandemi jenis apa lagi yang akan hadir di muka bumi.
Bob Johansen dalam bukunya Leaders Make The Future mengatakan bahwa VUCA tersebut harus dihadapi lagi dengan VUCA (Vision, Understanding, Clarity, Agility)
Vision bermakna tujuan. Menghadapi era disrupsi saat ini, lulusan Jurusan Pendidikan Agama Islam harus memiliki visi hidup yang jelas. Dalam perspektif ini, Allah SWT memberikan acuan kepada kita dengan sangat jelas, tertera dalam Q.S. Adz-Dzariat ayat 56, yaitu dalam rangka beribadah. Visi ini harus diinternalisasikan pada diri anak didik kita secara konsisten dan persisten.
Understanding bermakna bahwa kita harus senantiasa meng-upgrade dan meng-update pemahaman atau pengetahuan. Sejatinya guru harus mempunyai modal pengetahuan lebih dibanding anak didik. Mari tanamkan bahwa menjadi guru bukan alasan berhenti mencari ilmu. Jika sudah tidak mau belajar, maka berhenti saja mengajar. Tugas penting ini merupakan titah pertama Allah SWT kepada manusia, tertera dalam Q.S. Al-Alaq ayat 1-5.
Clarity dapat diartikan sebagai kejelasan. Artinya bahwa sebagai manusia kita harus memiliki pedoman hidup agar kehidupan semakin jelas dan terarah. Pedoman hidup terbaik adalah kitab suci, sebagaimana tercantum dalam Q.S. AN-Nahl ayat 89 yang berbunyi, dan sudah diturunkan kepadamu kitab (Al-Quran) sebagai penjelas terhadap segala sesuatu.
Agility berarti lincah. Di tengah arus globalisasi yang syarat dengan persaingan, maka kelincahan menjadi sebuah keniscayaan. Lincah sejatinya adalah sebuah proses memaksimalkan ikhtiar menuju tercapainya tujuan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Jumuah ayat 10 yang artinya: Apabila telah selesai melaksanakan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi.
Lalu bagaimana guru PAI memandu generasi di era disrupsi ini? Mari kita telaah survey seratus faktor kesuksesan yang dilakukan Thomas J. Stanley terhadap 733 Millioner Amerika Serikat. Dalam temuannya, sepuluh besar faktor penentu kesuksesan secara berurutan adalah kejujuran, displin keras, mudah bergaul, dukungan pendamping, kerja keras, kecintaan pada yang dikerjakan, kepemimpinan, kepemimpinan, kepribadian kompetitif, hidup teratur, dan kemampuan menjual ide. Temuan yang mencengangkan ternyata IQ tinggi berada di posisi ke-21, belajar di sekolah terbaik di posisi ke-23, dan Faktor NEM terbaik ada di posisi ke-30.
Temuan ini memperkuat fungsi guru Pendidikan Agama Islam untuk senantiasa menginternalisasikan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan kerja keras serta sikap positif lainnya pada diri peserta didik dalam menghadapi era disrupsi.
Setidaknya ada tiga paket modal utama yang harus dimiliki generasi di era disrupsi, yaitu:
1. Update dan Upgrade
Meng-update berarti kemampuan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Meng-upgrade berarti kemampuan menaikan nilai atau kualitas. Salah satu cara untuk menaikan kualitas atau kompetensi adalah menjadi pembelajar sepanjang hayat. Seorang pembelajar tidak akan pernah malu untuk belajar dari siapa pun serta tidak akan pernah puas dengan pembelajaran yang sudah di dapat. Kemaruk akan ilmu pengetahuan adalah keharusan.
2. Konsisten dan persisten
Konsisten bermakna terus menerus, senafas dengan istiqomah. Persisten bermakna gigih, tahan banting mewujudkan cita-cita yang diharapkan, senafas dengan mujahadah atau jihad (penuh kesungguhan).
Generasi bangsa harus konsisten dan persisten menanamkan nilai-nilai kebaikan dan menebar kebermanfaatan, karena inilah esensi manusia yang berkualitas di mata Allah SWT.
3. Ketepatan dan kecepatan
Pandemi membuat semua bangsa tiarap di saat yang bersamaan, kemudian bersiap sprint setelah sesaat tertidur dan melewati mimpi buruk. Siapa yang lebih cepat bergerak maka dialah pemilik peluang terbesar kemenangan.
Kesempatan tersebut mestinya tidak disia-siakan generasi bangsa. Momentum pandemi bukan sesuatu yang harus terus diratapi tapi dijadikan cambuk untuk berlari, melahirkan kreativitas dan inovasi.
Kreativitas dan inovasi ini sangat penting karena berdasarkan temuan World Intelektual Property Organization, Indeks Inovasi Global Indonesia pada tahun 2021 masih sangat rendah yaitu di posisi ke-87 dari 132 negara, dan posisi ke-14 di Asia Tenggara, Asia Timur dan Oceania.
Kretaivitas dan inovasi dalam dunia pendidikan juga penting mengingat dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia disebutkan bahwa Indonesia akan menjadi lebih berliterasi digital, 73% populasi akan menggunakan internet setiap harinya, dan setengah populasi akan menggunakan 2 ponsel pada 2024.
Ala kulli hal, apakah alumni PAI sanggup bersaing di era disrupsi? Bismillah, La haula wala quwwata illa billah.
Perlu diingat bahwa tujuan kita bukan hanya melahirkan generasi yang bahagia di dunia saja, tapi harus bahagia juga di akhirat, terhindar dari api neraka. Itulah esensi hadirnya kita di muka bumi.
Wallohu a’lam
[1] Disampaikan dalam acara Tracer Study dan Temu Alumni Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pada tanggal 2 Juli 2022 di Aula PPG Lt. 4, Kampus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[2] Alumni Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 1997.